IMAM DAN MAKMUM BERBEDA NIAT
Izin bertanya kyai bagaimana hukumnya jika antara imam shalat dengan makmumnya berbeda niat, Apakah itu sah ? Contoh kasusnya ketika seseorang selesai mengerjakan shalat wajib berjama’ah ia melaksanakan shalat ba’diyah. Lalu ada yang datang menepuk pundaknya dan bermakmum kepadanya. Terima kasih
Jawaban
Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Tentang hukum shalat berjamaah di mana terjadi perbedaan niat shalat antara makmum dengan imam, para ulama berbeda pendapat dalam menghukuminya, dengan argumentasi dan dalil yang beragam sesuai dengan ijtihad mereka. Menurut jumhur ulama, yakni dari kalangan madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, hal tersebut tidak diperbolehkan karena adanya ketentuan keseragaman niat antara imam dan makmum dalam shalat berjamaah.
Ketiga madzhab ini berpendapat bahwa perbedaan niat antara imam dan makmum dapat menyebabkan shalat tidak sah. Sedangkan menurut kalangan ulama Syafi’iyyah, hukumnya boleh dan sah jika imam dan makmum berbeda niat, dengan syarat-syarat tertentu yang masih dalam koridor syariat. Mari kita simak penjelasannya secara lebih rinci untuk memahami alasan dan dalil di balik perbedaan pendapat ini.
Hukumnya tidak boleh
Tidak sah menurut jumhur ulama madzhab adanya perbedaan niat antara makmum dengan imamnya dalam sebuah shalat berjam’ah. Kalangan Hanafiyah mengatakan :
أن تتحد نية الإمام والمأموم في الفرض نفسه والوقت ذاته، فلا يصح اقتداء من يصلي فريضة الوقت بمن يصلي فائتة ولو كانت الصلاة ذاتها.
"Harus ada kesamaan niat antara imam dan makmum dalam kewajiban yang sama dan waktu yang sama. Maka tidak sah seseorang yang shalat fardu pada waktunya bermakmum kepada orang yang shalat qadha, meskipun sifat shalatnya sama.”[1]
Abu Muhammad al Qairuni al Maliki berkata :
من خالفت نيته نية الإمام، لم تجزه صلاته، كنية الظهر والعصر والإمام في خلافهما من ظهر أو عصر، فالإمام تجزئه، ولا تجزئ من خلفه
“Siapa yang niatnya berbeda dengan niat imam, maka shalatnya tidak sah, seperti orang yang berniat shalat Dzuhur atau Ashar sementara imamnya berbeda, baik Dzuhur atau Ashar, maka imamnya shalatnya sah, tetapi tidak bagi makmum di belakangnya.”
Abu Amar al Qurthubi al Maliki rahimahullah berkata :
ولا يجوز عند مالك لأحد أن يصلي فرضا يخالف فيه فرض إمامه خلفه ولا أن يصلي الفرض خلف متنقل
“Menurut Imam Malik, tidak diperbolehkan bagi siapa pun untuk melaksanakan shalat fardhu yang berbeda dengan shalat fardhu imamnya, atau melaksanakan shalat fardhu di belakang orang yang sedang melaksanakan shalat sunnah.”[2]
Al imam Buhuthi al Hanbali rahimahullah berkata :
ولا يصح ائتمام مصلي ظهر مثلا بمصل غيرها كعصر لاختلاف الصلاتين. ولا يصح ائتمام (مفترض بمتنفل) حديث «لقوله: صلى الله عليه وسلم: فلا تختلفوا عليه متفق عليه وكون صلاة المأموم غير صلاة الإمام اختلاف عليه لأن صلاة المأموم لا تتأدى بنية صلاة الإمام
"Tidak sah seorang yang melaksanakan shalat Dzuhur dengan bermakmum kepada orang yang melaksanakan shalat lain, seperti Ashar, karena adanya perbedaan antara dua shalat tersebut. Dan tidak sah seseorang yang melaksanakan shalat fardhu bermakmum kepada orang yang melaksanakan shalat sunnah, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ: 'Maka janganlah kalian berbeda dengannya.' (Muttafaq 'alayh). Perbedaan antara shalat makmum dan imam dianggap perbedaan yang tidak diperbolehkan, karena shalat makmum tidak dapat dilaksanakan dengan niat shalat imam.”[3]
Dalilnya
Dalil dari pendapat ini adalah keumuman makna dari sabda Nabi shalallahu’alaihi wassalam :
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺟُﻌِﻞَ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡُ ﻟِﻴُﺆْﺗَﻢَّ ﺑِﻪِ ﻓَﻠَﺎ ﺗَﺨْﺘَﻠِﻔُﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
"Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk ditaati, maka jangan kalian menyelisihinya..." (Mutafaqqun 'alaih)
Namun demikian bukan berarti ketiga madzhab ini sepakat bulat dalam satu pendapat. Kalangan Hanafiyah dan sebagian Hanabilah membolehkan orang yang shalat sunnah bermakmum kepada yang shalat wajib.[4]
Hukumnya boleh
Kalangan ulama dari madzhab Syafi’iyyah berpendapat boleh saja seseorang bermakmum kepada imam yang berbeda niat, baik makmumnya niat shalat wajib sedangkan imam shalat sunnah, atau sebaliknya imam shalat wajib sedangkan yang bermakmum niat shalat sunnah. Atau yang shalat yang sifatnya panjang mengikuti yang pendek seperti yang niat shalat Dzuhur bermakmum ke imam yang niat shalat Shubuh. Demikian juga dibolehkan yang menjama’ shalat mengikuti yang tidak dan juga sebaliknya.
Berkata al imam
asy Syafi’i rahimahullah :
ونية كل مصل نية نفسه لا يفسدها عليه أن يخالفها نية غيره وإن أمه
“Niat setiap orang yang melaksanakan shalat adalah niat bagi dirinya sendiri. Niat orang lain yang mengimaminya jika berbeda tidak membuat cacat ibadahnya.”[5]
Imam Nawawi rahimahullah berkata :
في مذاهب العلماء في اختلاف نية الامام والمأموم: قد ذكرنا أن مذهبنا جواز صلاة المتنفل والمفترض خلف متنفل ومفترض
“Menurut pendapat para ulama dalam hal perbedaan antara niatan imam dan makmum, sebagaimana yang telah kami sebutkan bahwa menurut madzhab kami, madzhab Syafi’i, boleh adanya beda niat antara imam dan makmum di mana imam melaksanakan shalat sunnah atau shalat wajib dan makmum melaksankan shalat sunnah dan shalat wajib.”[6]
Dalilnya
Dalil dari pendapat ini diantaranya adalah riwayat dari sayidina Jabir radhiyallahu’anhu berikut ini :
أن معاذ بن جبل رضي الله عنه كان يصلي مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عشاء الآخرة ثم يرجع إلى قومه فيصلي بهم تلك الصلاة
“Muadz bin Jabal pernah shalat Isya berjamaah bersama Rasulullah lalu pulang ke kaumnya dan mengimami shalat Isya yang sama.” (HR. Bukhari)
Yang tidak boleh bila berbeda sifat shalat
Bermakmum kepada imam yang berbeda niat baru tidak dibolehkan jika sifat shalat antara imam dan makmum berbeda. Semisal tidak boleh bermakmum shalat wajib kepada imam yang sedang shalat gerhana, istisqa’ apa lagi shalat Jenazah.
Al imam Khatib Asy Syarbini
rahimahullah berkata :
من شروط الاقتداء توافق نظم صلاتيهما في الأفعال الظاهرة، فلا يصح الاقتداء مع اختلافه كمكتوبة وكسوف أو جنازة لتعذر المتابعة
“Di antara mengikuti imam adalah kesamaan rangkaian tatacara antara imam dan makmum dalam gerakan yang signifikan, maka tidak sah bila makmum mengikuti imam dengan adanya perbedaan seperti makmum melakukan shalat fardlu sementara imam shalat gerhana atau shalat jenazah karena udzur mengikuti secara lengkap.”[7]
Demikian juga dalam madzhab ini terjadi perbedaan pendapat jika makmum mengikuti imam yang jumlah raka’at shalatnya lebih banyak. Seperti sesorang yang mengqashar shalt mengikuti yang tidak qashar, atau yang shalat Shubuh bermakmum kepada imam yang shalat Dzuhur, makmum shalat Maghrib mengikuti imam yang shalat Isya dan seterusnya.
Berkata al imam Nawawi rahimahullah :
وإن كان عدد ركعات المأموم أقل كمن صلى الصبح خلف رباعية أو خلف المغرب أو صلى المغرب خلف رباعية ففيه طريقان حكاهما الخراسانيون (أصحهما) وبه قطع العراقيون جوازه
"Jika jumlah rakaat makmum lebih sedikit, seperti orang yang shalat Shubuh di belakang imam yang shalat empat rakaat atau di belakang imam yang shalat Maghrib, atau orang yang shalat Maghrib di belakang imam yang shalat empat rakaat, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat yang disebutkan oleh para ulama Khurasan. (Pendapat yang paling sahih), yang dipegang oleh ulama Irak, adalah yang memperbolehkannya.”[8]
Kesimpulan
Ulama berbeda pendapat tentang hukum menjadikan seseorang yang berbeda niat shalat sebagai imam. Menurut jumhur tidak boleh, sedangkan menurut Syafi’iyyah hal tersebut dibolehkan. Untuk kehati-hatian sebaiknya meninggalkan “sembarangan” mengangkat imam shalat. Jika ada yang sama-sama tertinggal, sebaiknya mencari imam yang bisa dipilih secara normal. Tapi jika kasusnya tiba-tiba terjadi, dalam sebuah kondisi kita ditepuk dan dipaksa jadi imam, kita bisa mengikuti pendapat yang membolehkannya. Wallahu a’lam.
[1] Fiqih Ibadat ‘ala Madzhab Hanafi hal. 110
[2] Al Kafi fi Fiqh Ahli Madinah (1/213)
[3] Syarh al Muntaha (1/278)
[4] Fiqh ala Madzhab al Arba’ah (1/386), Fiqih Ibadat ‘ala Madzhab Hanafi hal. 110
[5] Al Umm, (1/201)
[6] Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab ( 4/271)
[7] Al Iqna fi Hilli Alfadzi Matan Abi Syuja’ (1/169)
[8] Majmu’Syarah al Muhadzdzab (4/170)
0 comments
Posting Komentar